Pertanyaan
yang belum ada jawabannya?
Sabtu jam 8 atau jam 9 adalah
waktu rutin yang sudah diagendakan permanen untuk apa? Untuk mempelajari ilmu
abadi, untuk mendekatkan diri pada ilahi.
Biar aku beritahu sedikit, bahwa
sesibuk apapun kita, sebahagia apapun kita, sesedih apapun kita, ada bagian
parsial tugas dari hati yang harus kita lakukan, mendekatkan diri pada Alloh,
mempelajari ilmuNya, ilmu tentang ketenangan hidup. Sesibuk apapun aku, dan
seluang apapun waktuku aku tidak bisa hidup tanpa-Nya, tanpa mendekatkan diri
pada-Nya. Aku tak bisa tenang bila dalam satu minggu (fase haid) aku tak
sholat, itu yang terjadi.
Jadi setiap sabtu, aku sempatkan
untuk ini, aku teramat ikhlas melaksanakannya, aku tak peduli meski pun tempat
itu di masjid atau di garasi, aku tak terlalu peduli meski aku harus berjalan
kaki, aku tetap berjalan meski siang atau pagi, aku tetap berangkat meski panas
maupun mentari sedang sayup-sayup mengantarkan gerimis.
Itu rutin ku lakukan, tapi untuk
minggu ini aku terlambat datang, akuu les bahasa inggris terlebih dahulu, dan
jam 10 aku kesana, akuu muter-muter dulu di Pasar Minggu, tak tau arah naik
angkotnya. 1 jam dijalan sampai akhirnya sampai di tempat liqo jam 11 dimana
seharusnya dimulai jam 10. Tidak apa setidaknya aku datang.
Ketika materi sudah dibahas dan
ada diskusi, aku ditanya oleh teman,
1.
Les Bahasa
Inggris?
Mau lanjut S2 ya? Mau kuliah
lagi? --à #aku hanya senyum saja
Ini ada beasiswa luar negeri loh
di AusaID, dan lain-lain. Mereke manambahkan, dan aku dalam hatiku, iya ya
Allah, ingin menjawab “Iya..! *dengan yakin* ingin sekali menjawab demikian.
Itu cita-citaku dulu, ketika menginjakkan kaki di Jakarta. Ketika bahagia
sekali ketika mengetahui jika menuju UI Depok hanya naik angkot sekali. Itu
mimpiku yang masih didalam hati, tapi yang tersembunyi dan tak muncul di
permukaan. Yang sengaja aku simpan untuk sementara ini, mengingat apa yang
bapak bilang “Ikaa,, keluarga kita kan yaaa, biasa saja, Uangnya tidak untuk
memikirkan ika, ada ocik, ada bapak, mamak, dan fauzy an dst………..” sungguh
untuk saat ini, pertanyaan ini tak mampu aku jawab, dan tak mampu aku
pertanyakan kepada siapapun.. Sekian
2.
Ketika
menuju jalan pulang, aku berjalan bersama Bu Endang, ibu keren yang akan
menjadi panutan aku dalam menjalani kehidupan rumah tangga ku kelak, Bu Endang
yang aku tau, dia, adalah seorang ibu teladan yang memang dari awal memiliki
kondisi ekonomi berkecukupan. Mengapa aku katakana demikian, karena dia
memandangku sama sepertinya, padahal aku tak pernah menyamakannya. Dia salah.
Perjalanan cukup jauh, dia bilang “Rika umurnya berapa? 19, 20?” | Aku: “Bukan,
baru saja ultah 24”, “ Waah, udah saatnya menikah tu” katanya, “emang udah
siap?” pertanyaan ini aku jawab saja dengan yakin “SIAP!! Sambil mengepalkan
tangan” dan eh pertanyaan selanjutnya, “Emang udah siap, hamil, punya anak,
jauh dari orang tua?, cari pembantu susah?”
Pertanyaan yang ini nih entah
jawabannya apa, setelah aku fikir-fikir, iya juga ya.. emang aku udah siap?
Jangan-jangan Alasan Allah kenapa aku belum dipertemukan dengan sang pujaan
hati itu karena pada dasarnya aku belum siap ya? Lalu apa yang harus aku
persiapkan ya.. apa saja tolong dijelaskan, aku ingin mempersiapkannya sesegera
mungkin. Pertanyaan ini.. aku jawab dengan pertanyaan lagi.
Pembantu? Aku bahkan tak
memikirkan itu, aku tak memikirkan sepanjang itu, pembantu? Aku bahkan
merencakan untuk melakukan semuanya sendiri meski aku tak yakin bisa.
Sudah cukup, sepertinya satu hari
ini pertanyaan-pertanyaan itu sudah membuatku berfikir panjang. Aku sudahi saja
dengan tetap menggantungkan pertanyaan itu tanpa jawaban. Nanti aku kan tulis
lagi ketika jawaban itu sudah ku temui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar